Bertahun-tahun hidup di daerah Kabupaten Pekalongan yang notabene lingkungan pesantren tidak selalu membuat seseorang ingin nyantri. Walaupun sering melihat banyak kang-mbak santri yang lewat depan rumah tiap sore, kerja bakti santri, ngajar ngaji TPQ, tapi aku melihatnya biasa saja seperti tidak ada hal yang spesial dari mereka. Namun, pemikiranku berubah sejak mengenal bangku kuliah.
Awal Kehidupan
Memang benar kata Pak Haji Rhoma, kalau sudah tiada baru terasa. Terbiasa dari kecil hidup di lingkungan dekat pesantren, sekolah pun selalu yang memiliki embel-embel islam. Baru setelah menginjak masa sekolah menengah, semua hal itu mulai terasa, seketika kangen dengan semua hal yang dulu kukira tak ada yang spesial itu.
Sempat sebelum mendaftar di sekolah menengah negeri, aku pernah meminta didaftarkan di sekolah yang sekalian ada asrama santrinya. Lolos seleksi sih, namun ada beberapa hal yang dirasa belum cocok oleh keluarga dan diriku sendiri, sempat kena marah juga gara-gara aku membatalkan belajar di situ. Alhasil, nggak jadi nyantri deh, yah mungkin memang belum waktunya nyantri. Padahal saai itu sedang pingin banget merasakan pesantren, entah apa yang membuatku seperti itu.
Doa Yang Selalu Diijabah
Masa sekolah menengah berjalan seperti seharusnya, susah senang, kawan musuh, organisasi, guru galak, cinta, semua pernah kurasakan. Semua terasa menyenangkan, namun masih tetap ada keinginan untuk nyantri, berdoa doang sih sebenernya gak pake usaha, haha.
Tapi Allah tidak melihat demikian, doaku itu diijabah!
Masa sekolah mendekati ujung, ujian terlewati perpisahan kukhidmati. Sudah saatnya menentukan pilihan tempat belajar selanjutnya. Anehnya, aku daftar saja, tidak memikirkan dimana aku akan tinggal di kota sebesar itu. Sampai kena teguran ibu juga, dibilang “masa mau kuliah nggak mikirin mau tidur dimana” aku sih tenang-tenang saja, entah yakin akan dapat tempat atau memang gak mikirin samasekali mengenai tempat tinggal, ayahku ternyata sepemikiran denganku, “ya gak apa-apa, nanti juga dapet tempat sendiri”, bagaimana gak sama, namanya juga ayah-anak. Sampai akhirnya mbak ku menyarankanku ikut pesantren di pesantren dekat kampus. Kaget juga mendengar usulan mbak ku satu-satunya ini, tak pernah terfikirkan semenjak fokus ujian. “Kakak kelas mbak juga nyantri di pondok itu, itu loh Mas Ibad, Mas Hery sama Mas Ais, kan itu kakak kelas mu juga”, heran saja mendengar kata-kata mbak ku, aku sama sekali tidak tahu mereka mondok disitu, langsung kuiyakan usulan ini, seketika dalam hati aku berkata, mungkin ini jawaban Allah untukku yang ingin mondok.
Telat Masuk Pesantren
Sempat merasa ngawur. Aku masuk pondok sekalian kuliah, walaupun sudah pernah berkunjung ke pondokku ini namun baru sowan ke Abah Yai sehari sebelum masuk kegiatan kuliah, padahal teman-teman santri baru yang lain katanya datang rata-rata seminggu sebelum masuk kuliah. Duh!, calon santri ndableg aku ini, bisa-bisanya tidak memikirkan hal itu (fikirku dalam hati). Tapi, ternyata setelah aku yang kukira masuk paling terakhir itu, masih ada lagi yang masuk hari esoknya, dan tidak hanya satu!. Heran aku, kupikir-pikir lagi, ternyata banyak juga yang lebih ndableg daripada aku, haha (ketawa sambil suudzon).
Ternyata Dia Lurah Pondok
Sebelum sowan Abah Yai, kami sekeluarga ditemani oleh sesosok laki-laki muda dengan muka teduh, santai damai, sederhana dengan tutur kata lemah lembut, khas menggunakan bahasa jawa krama inggil. Kuketahui namanya Kang Roni, disini selalu menggunakan “kang” untuk santri putra, sama dengan daerahku, dan kuketahui dia juga sebagai Lurah Pondok (wow, hebat).
Kami sekeluarga diajak ngobrol sekedarnya, tapi lebih banyak obrolannya denganku karena keluargaku sibuk berkeliling melihat-lihat seisi pesantren sembari menunggu Abah Yai selesai wiridan. “Ooh nggeh.. nggeh..” (jawabanku tersenyum), hanya kata itu yang sering kuucap untuk membalas obrolannya. Bagaimana tidak, aku yang tidak selalu faham bahasa krama diajak ngobrol full menggunakan bahasa krama, apalagi ketika berbicara dia selalu memelankan suara, bingung dan gak kedengeran gak jelas intinya, jadi memang tidak ada kata lain yang bisa kubalas selain “nggeh” sambil tersenyum.
Perubahan Drastis
Namanya juga santri, sikap harus menunjukkan bahwa kita adalah santri. Hal yang paling dasar ialah berbicara lemah lembut dengan bahasa jawa krama inggil, apalagi jika berbicara dengan yang sepuh-sepuh, sebisanya jangan menggunakan bahasa indonesia. Aku yang masuk kategori tidak terlalu bisa bahasa krama mau tidak mau harus berbicara bahasa krama inggil. Pernah aku minta tolong diajari bahasa halus oleh Kang Roni, namun beliau terlalu tawadhu sampai kubujuk pun terlihat enggan dan lebih menyarankan untuk belajar dengan Kang yang lain. Akhirnya aku malah tidak belajar (haha), dan dari kang-kang yang kuminta banyak yang seperti Kang Roni tadi, tawadhu. Mau tidak mau karena kebutuhan primer, aku mulai membiasakan berbicara halus kepada siapapun, dan yang kubanggakan ialah ketika aku pulang ke rumah saat liburan aku bisa berbincang-bincang banyak dengan orang tuaku dengan bahasa krama.
Ngaji Kitab
Di pondokku ini ngaji kitabnya setiap pagi setelah sholat shubuh dan malam setelah sholat isya, tepatnya setelah sholat sunah witir berjamaah, karena siang harinya banyak dari santri yang kuliah. Hal yang paling mencolok dari ngaji kitab ialah santrinya, ketika ngaji malam banyak yang semangat, serius memperhatikan dari awal sampai selesai. Berbeda jauh dari ngaji malam, ngaji ba’da shubuh sangat beda! Bagaimana tidak, ketika Abah Jailani mengajarkan ilmu Tafsir Jalalain dan Tafsir Hadits Riyadhus Sholihin, teman-teman dengan khusyunya tidur. Heran sebenarnya aku melihat teman-teman santri banyak yang tidur, namun makin kesini makin berjalannya waktu ternyata aku tidah jauh berbeda, tidur.
Sowan Perdana Minta Izin Pulang Kampung
Setelah menimba ilmu yang banyak (ceritanya), tiba saatnya libur santri. Sewajarnya santri baru, aku dan teman-teman meminta izin ke Abah Sam’ani selaku pengasuh pondok untuk pulang. Setelah ngobrol dengan teman-teman dan izin pengurus, akhirnya sepakat untuk meminta izin pulang setelah sholat dzuhur dengan menunggu di serambi masjid utama, tempat paling favorit untuk meminta izin pulang.
Ternyata menunggu izin dengan Abah tidak secepat yang aku kira, kukira setelah dzikir dan sholat ba’diah dzuhur Abah langsung menuju Ndalem, ternyata manambah dzikir lagi. Aku yang tiba-tiba kebelet tak kuat lagi untuk menahan dan langsung saja menuju tempat nongkrong anak-anak pondok. Apesnya setelah urusanku selesai, Abah juga selesai memberi izin pulang kepada teman-teman yang sudah antri disana kemudian berjalan menuju ndalem. Wealah... bahaya, Abah kalo udah di ndalem sedikit susah untuk diajak ketemu, gak etis juga masa Abah udah mau aktivitas lain malah kita ganggu. Akhirnya kukejar Abah sebelum sampai masuk rumah, aku benar-benar berada di belakangnya tapi aku bingung bagaimana memanggilnya, mau kupanggil takut kurang sopan sikapku, sampai akhirnya beliau sampai masuk rumahnya dan aku berdiri mematung di depan pintu masuk. Mau masuk tapi ragu karena rumah Abah juga sekalian Asrama putri, kalau tidak dikejar nanti aku gagal pulang (fikiranku penuh kebingungan).
Bismillah mantep! (sesuai ajaran ustad, kalo ada apa-apa yang penting mantep!)
Kuputuskan mengikuti Abah masuk rumah berharap beliau sadar aku dibelakangnya. Bingung, was-was, perasaan campur aduk. Parah! Tak kusangka aku masuk dan bisa melihat seisi ndalem yang tak terduga seperti ini (ngawur sekali aku ternyata). Sempat juga ada santri putri melihatku keheranan berjalan dibelakang Abah, aku juga heran melihatnya memandangku keheranan (kita bertatap muka keheranan... ah tidak, bercanda), kutundukkan pandanganku ketika ada santri putri yang melihat. Aku juga bertemu Gus Latif sedang menonton tv, dia melihatku keheranan, mungkin yang difikirkannya kenapa aku berjalan dibelakang Abah dengan wajah was-was, malu-malu bingung. Kuputuskan menyapa si Gus, “monggo gus..” (dengan sedikit senyuman), “nggeh kang, loh meh nopo kang Robby kok ngikuti Abah?” tanyanya. “ehhhh.. niki ajeng izin”, mendengar jawabanku si Gus hanya menahan tawa. Kubergegas mengikuti lagi dan tak kusangka, ternyata Abah menuju depan warung ndalem. Lah? Tau seperti itu mending saya tunggu di warung saja. Setelah Abah di warung, beliau baru sadar ada aku dibelakangnya, “piye kang?” dengan nada khas Abah. “hehe.. niki ajeng izin wangsul, Bah” (ketawa gak jelas, cengar-cengir, meringis jawabanku). Melihatku dengan tatapan heran, dan mungkin beliau sadar aku yang sudah malu kelewatan masuk rumahnya, beliau langsung acc memberi izin pulang dan tak lupa menitip salam untuk kedua orang tuaku.
Alhamdulillah akhirnya besok bisa pulang..
Waduh, izin memang sudah, nah ini aku pulang lewat mana, mau lewat ndalem lagi? Daripada makin kelihatan ngawur, aku keluar warung memutari ndalem tanpa alas kaki menuju pondok. Mungkin yang difikirkan Abah, ini kenapa santri bisa di warung dari arah ndalem, terus pulang memutari ndalem tidak pakai sandal, duuuhh.
Stempel Pondok
Pagi hari setelah ketiduran ngaji ba’da shubuh, tanganku merasa sedikit gatal-gatal, makin digaruk gatalnya tidak habis-habis, dan kelihatan ada bintik-bintik merah yang banyak, lah ini tanganku kenapa (fikirku dalam hati). Semakin hari nampaknya tanganku ini makin terasa panas-panas gatal, dan jika digerakan terasa perih, kemudian kutanyakan pada santri senior mengenai hal ini, dan ternyata itu penyakit standar pondok (gatal-gatal : Gudik). Kaget saja aku mendengarnya, ada-ada saja, penyakit yang menjadi standar pondok, haha. Tapi memang seperti itu kenyataannya, katanya itu menunjukkan tanda bahwa kita sudah dicap sebagai anak pondok, dan yang lucu lagi adalah katanya jika pulang gatal-gatalnya akan sembuh, dan benar kuakui sendiri seperti itu adanya.
Aku Santri Favorit
Sudah satu tahun aku nyantri di ponpes Kyai Galang Sewu ini, aku kini menjadi santri favorit, bukan favorit di mata Asatidz apalagi di mata mbak-mbak santri putri, namun aku santri yang favorit dighosob. Yah, memang tak ayal lagi bahwa kegiatan ghosob memang selalu ada di ponpes manapun, entah ghosob sebentar atau lama, entah ghosob dibalikin lagi atau lupa. Aku menjadi salah satu yang paling sering kehilangan jejak barang-barangku di pondok.
Yang paling kusuka ialah ketika memergoki santri yang mengghosob. Pernah beberapa kali aku memergoki santri yang memakai dengan santai, padahal barang-barangku mau kupakai. “Hayoooo, ini tho yang mengghosob.. baru tahu aku”, sering kuteriakkan seperti itu agar dia malu dan jera, bagaimana tidak, kalau dibiarkan bisa menular.
Khidmah Sebagai Jalan Berkahnya Ilmu
Menjadi santri itu gampang-gampang susah, gampang ketika ada yang bimbing, susah ketika sendiri, apalagi ketika menjaga nama baik pondok. Setahun sudah aku menimba ilmu di ponpes, aku dimasukkan dalam daftar kepengurusan. Fotoku terpampang di bagan kepengurusan Ponpes Kyai Galang Sewu dengan nama terang “Robby Rodhiyya”, ya itu namaku. Selalu kuluruskan niat lagi, memantapkan niat lagi untuk mengurusi teman-teman santri, menjadi pengurus berarti menjadi kepanjangan tangan Abah, apalagi di departemen pendidikan yang menjadi tolak ukur pendidikan santri.
"Njenengan nek kepengen pinter yo sinaune sing tenanan, lan nek kepengen manfaat yo tirakat sing kenceng, terus nek kepengen barokah yo luru ridhone guru."
Kalian semua kalau ingin pintar, belajarlah yang tekun. Kalau ingin bermanfaat, tirakatlah yang sungguh-sungguh, dan kalau ingin barokah, carilah ridho guru. Mencari ridho guru itu bagaimana? dengan memudahkan segala urusan guru, misal diamanahi jadi pengurus ya diniati khidmah guru, karena mendidik itu tugas utama dari guru, pengurus membantu sama artinya memudahkan urusan guru. (Al Ustadz M. Nur Salafuddin Al Hafidz)