Thursday, August 24, 2017
Jihad dengan peperangan yang terjadi pada masa Rasulullah Muhammad SAW adalah peperangan untuk mempertahankan hak kehidupan masyarakat muslim yang diserang lebih dahulu. Selain itu perang juga dilakukan untuk membela kaum yang lemah. Ini berbeda pada zaman sekarang di mana soal keamanan dunia sudah diatur oleh PBB sehingga tidak mungkin lagi terjadi penyerangan terhadap umat Muslim seperti pada masa dahulu.
Dilansir dari nu.or.id yang disampaikan Prof. Dr. Ahmed Ad-Dawoody dalam diskusi Tashwirul Afkar yang digagas Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) bertajuk Tantangan Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Islam tentang Konflik Bersenjata Kontemporer di Gedung PBNU Jakarta Pusat, Jumat (29/7) sore.
Ahmed memaparkan hal yang perlu ditunjukkan umat Islam adalah mempertahankan esksistensi diri umat Islam, namun bukan untuk menyerang kaum non-Muslim. Tentang jihad banyak ayat yang membicarakan dalam perspektif hukum Islam. Salah satunya pada Al-Quran Surat At-Taubah ayat 9.
Sayangnya, kata Ahmed, para penafsir melakukan hal yang mereka anggap sebagai aksi jihad melihat ayat ini hanya secara sepotong-sepotong. Padahal dalam menafsirkan suatu ayat seseorang harus paham tata aturan bahasa Arab dan aturan penafsiran lainnya. Itu tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang.
Ahmed menambahkan, suatu hukum harus menyesuaikan waktu (masa) dan tempat. Aturan tentang perang juga perlu mengaitkan dengan disiplin ilmu lainnya.
Aturan hukum tentang perang menjadi hal yang penting dalam hubungan umat Islam baik dengan sesama umat Islam, umat Islam dan non-Muslim, umat Islam dalam suatu negara, dan antarnegara.
Kita bisa lihat bagaimana strategi dakwah para pendahulu kita. Indonesia yang dihuni oleh penganut animism, Hindu dan Budha bisa berbalik menjadi Negara pemeluk Islam terbesar di dunia. Kita kembali membaca sejarah bagaimana kerajaan besar Sriwijaya bisa lumpuh dan rakyatnya masuk Islam tanpa ada paksaan dan tumpah darah. Dengan indahnya Walisanga juga mengislamisasi kultur rakyat Jawa dan akhirnya masuk Islam. Bukan malah sebaliknya (akulturasi). Walisongo bukan tidak tahu bagaimana jihad Rasul di Madinah (dengan peperangan) tapi mereka mampu menerapkan jihad ke dalam konteks kehidupannya dan tetap menjungjung tinggi nama islam.
Di era modern ini perlawanan terhadap Islam yang paling menonjol adalah melalui ilmu atau pemikiran. Yang mana media menjadi salah satu perangkat yang ampuh untuk digunakan. Oleh karena itu, sangat wajar Prof. Naquib al-Attas berpendapat bahwa lawan terberat umat Islam sekarang adalah kerusakan ilmu. Dan jihad ilmu menjadi sangat berat karena konsep ilmu dirusak pemahamannya oleh peradaban Barat. Bahkan Barat sudah masuk kedalam kurikulum pelajaran. Meskipun beberapa kali dikecam dan berhasil dihentikan, tapi kita bisa menilai bahwa pergerakan mereka sudah sangat massif dan terarah.
Sehingga, selain mencerdaskan kehidupan bangsa, menuntut ilmu adalah bentuk jihad rakyat Indonesia melawan kepentingan asing di tanah pertiwi. Kekuasaan asing mengelola SDA di negeri ini mungkin berawal dari lemahnya pengetahuan dan skill SDM kita yang kurang. Maka menajamkan kembali ilmu dalam mengelola SDA kita bisa menjadi jawaban.
Dahulu kafir quraisy memiliki ahli syair, umat Islam punya ahli syair. Mereka memiliki ahli pedang umat punya ahli pedang. Artinya dalam bentuk apa mereka menyerang Islam, maka bentuk itulah yang harus kita pelajari dan persiapkan. Dan sejauh mana pengorbanan mereka menenggelamkan Islam, maka sejauh itulah persiapan yang harus kita persiapkan.
Oleh sebab itu, jihad di era modern menjadi lebih berat. Mereka tidak akan habis terbunuh oleh pedang atau senjata canggih apapun. Standarnya adalah menandingi apa yang dimiliki musuh. Jika mereka menguasai media, maka kita harus siap dengan tenaga media. Jika mereka menyerang lewat penyelewengan hadits, maka kita harus punya ahli hadits. Semua potensi umat harus bekerja sama.
Wallahu a’lam bisshowab.